Sedikit Tentang Buku Manusia Indonesia, Karya Mocthar Lubis





Sebenarnya saya tidak ingin menulis semua ini, tapi rasa gelisah jika tidak mengatakan itu semua setidaknya melalui sebuah tulisan. Apa yang tertuang atau yang telah di tulis oleh Mocthtar Lubis di bukunya yang berjudul MANUSIA INDONESIA. jika berdasar hari ini mungkin masih di jumpai benarnya. Ia mengukapkan gagasanya sangat bebas tak perduli ini itu. jika di alam liar ia seperti raja hutan bebas ingin kemana saja tetapi juga hati-hati sebab raja hutan berjalan seorang diri. Ia bisah membaca kemungkinan bahwa barangkali di depan sana ada hewan lain secara bergerombolan sudah menyusun rencana untuk melenyapkanya maka dari itu ia harus hati-hati.


Mungkin apa yang terdapat dalam buku itu adalah tulisan tentang keresahan bukan tulisan ilmiah mendalam tetapi jika melihat latar belakang si penulis yang juga seorang wartawan senior, cerpenis yang selalu menyoroti isu-isu sosial semacam Korupsi, maka sebernarnya penulis sukses mengganggu kursi empuk kenyamanan. 


Maka dari itu bagaimanpun juga dalam dunia demokrasi tak bisah menghindar dari sebuah pro dan kontra yang di dalamnya ada aktivitas saling mengkritik, bahkan menghujat.


Tulisan dalam buku tersebut sebenarnya adalah naskah pidato yang ia bawakan pada sebuah acara di taman Ismail Marzuki, hingga pada akhirnya terbit sebagai sebuah buku. Kira-kira sebanyak 80 halaman berisi tentang gagasanya pada pidatonya di taman Ismail Marzuki dan beberapa lembar lainya berisi tentang tulisan atau tanggapan-tanggapan kritik dan kontra atas naska pidato tersebut, serta beberapa halaman berisih tanggapan balik oleh ia sendiri sebagai penulis. Buku yang tipis dan tidak banyak membuang-buang waktu anda jika membacanya.


Ada beberapa para intelektual di masa itu menanggapi isi pidato tersebut salah satunya dosen Psikolgi di universitas indonesia yakni: Sarlito Wirawan Sarwono. Ia menulisan tanggapannya cukup memukau sebab berdasarkan sudut pandang Psikologi ia berkomentar bagaimana Mockhtar Lubis mengatakan bahwa masyarakat Indonesia dari nenek moyangnya sampai sekarang masih mengerami sikap feodal. Semisal atasan harus di panggil bos atau bapak sama bawahannya, atau majikan harus di panggil tuan, atau beberapa orang yang status sosialnya tinggi harus di hormati oleh mereka yang status sosialnya rendah tampa ada perlakuan sebaliknya. 


Biasanya ini terjadi dari mereka yang aliran darah biru atau dari keluarga Bangsawan kepada mereka yang bukan dari keluarga Bangsawan. Hal ini memang sudah jarang terjadi sekarang. tetapi beberapa pratek politisi di Indonesia masih diam-diam mengeraminya, mungkin karena ia beranggapan karena moyangnya adalah pahlawan di masalalu, atau yang paling nyentil tentang kepercayaan orang Indonesia atas mitos-mitos atau tahayul.


Ada juga tanggapan dari seorang sepuh menuruk Mockhtar Lubis yakni: Margono Djojohadikusumo. Ia mengemukakan pendapatnya dengan judul Foadalisme, New feodalisme, dam Aristokrasi. Baragkali tigal hal inilah yang terjadi di Indonesia seperti yang di katakan oleh pemilik naskah Manusia Indonesia. Tetapi lain dari itu, menurut Margono sikap si pemilik naskah cenderung {anti jawa}. Tetapi cepat-cepat di banta oleh si pemilik naskah dengan mengatakan bahwa apa yang ia kemukakan di dalam tulisannya tersebut tidaklah anti Jawa, ia bahkan menulis dengan sangat jelas bahwa tulisannya bahkan menyoroti bangsa Melayu secara keseluruhan.


Atau yang menarik tanggapan esai ringan dari Dr. Abu Hanifah: Satu contoh, misalnya ialah ucapan seorang Orientalis Belanda, yang pernah mengatakan: {orang Sumatra yang galak, orang Jawa yang beradab, orang Menado yang berani, orang Ambon yang setia}. Saya masih ingat ketika saya masih sekolah di Stovia dalam tahun dua puluhan, kalau kita mau berkelakar, kita sebut-sebut perkataan-perkataan di atas. Kadang-kadang secara menyindir, tetapi dalam tahun-tahun setelah 1928, kami dari IC Kramat 106, menganggap kalimat-kalimat itu sebagai usaha-usaha Belanda buat memecah-belah. Juga kami agak curiga terhadap orang-orang Belanda, yang menamakan diri: javanicus, atau ahli suku-suku Sumatra atau Sulawesi dan Kalimantan. Tulis Dr. Abu Hanifah, dalam tanggapan-tanggapannya.


Ia juga berpendapat soal manusia Indonesia sebenarnya pada dasarnya sama saja dengan dasar manusia pada umumnya di dunia. Bahkan ia juga mengatakan vonis manusia Indonesia seperti yang di tulis oleh Mochtar Lubis cenderung kejam. Meski di lain sisi ia juga membenarkan perkataan Mochtar Lubis tentang manusia Indonesia itu ”Hipokritis dan mental Feodal’’ tetapi jika didik dengan Pendidikan dan diatur dengan Hukum yang Adil maka semua itu dapat di perbaiki. Merujuk teori Aris Toteles.


Dan masih banyak para intelektual lainnya di luar sana yang barangkali kontra dengan apa yang tertuan dalam naska pidato tersebut. Tetapi saya hanya menuliskan tiga nama intelektual yang ikut memberikan tanggapan atas tulisan-tulisan dalam naska tersebut, dan saya juga tidak memberikan penjelasan yang rinci atas buku yang telah saya baca itu. maka maafkanlah.


Tetapi menurut saya pribadi tiga orang intelektual itu adalah interpetasi agar bagaimana kita para pembaca tidak menelang informasi dengan menta-menta, dan memang benar jika pembaca tidak kritis dalam menela’ah secara masak-masak informasi dalam buku tersebut akan cenderung terprovokasi. Apalagi kamu dari latar belakan keluarga yang terhormat. Walaupun apa yang termuat dalam buku itu jika di telisik lebih berdasarkan kenyataan dulu hingga sekarang masih bisah kita temukan bersileweran di luar sana.


Saya pribadi tidak berhenti pada informasi hanya pada buku-buku saja kadang saya lebih suka berdiskusi dengan orang yang punya informasih lebih dalam dari banyak buku-buku yang belum saya ketahui, artinya membaca bukanlah alasan untuk berbicara banyak, membaca mengharuskan kamu lebih banyak mendengar dan bertanya. Jika ada pertanyaan memilih mana antara bodoh dan pintar? Maka saya akan memilih bodoh. Andai bertemu dengan orang yang lebih tahu darimu maka kosongkan gelasmu dan temani dirimu dengan secangkir kopi bukan secangkir ke angkuhan.   


 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ia Mengirim Malam Yang Tak Nyenyak Di Dadamu

Dari Beng-beng Sampai Peterpan