Pak Jambo dan Wa Jene

 


Tepat di malam senin, ketika seharian aku dan pacarku dari pantai yang ada di pulau Ambon. Aku sedang duduk di depan jendela kamar hotel sambil menikmati secangkir kopi dan pemandangan malam kota. Di kejauhan, warni warni lampu yang menghiasi Jembatan Merah Putih (JMP) tampak memanjakan suasana. Begitupun para muda mudi yang ada di sana. Di manjakan angin malam dan melengkapi cerita-cerita dusta yang berujung di kamar rahasia. Aku mulai membuka suara ketika aku mulai merasakan suasana yang akan mengalahkanku. Rasa kantuk mulai menduduki mataku, menguap walau pahitnya kopi tak dihiraukannya.

“Kekasih, aku mau bercerita tentang bunga dan selangkangan wanita, maukah kamu mendengarnya…? Tanyaku ketika aku sambil menyeruput kopi di kamar hotel. “Apa hubungannya bunga dengan selangkangan wanita, memangnya sebelum bercinta laki-laki harus menaburkan bunga di selangkangan pacarnya ? “Jawabnya sambil tertawa dan gigi gingsulnya yang indah terlihat jelas dan kemudian melenjutkan lagi. “Tapi kedengarannya menarik, ceritalah sayangku aku akan mendengarnya. Sambil ia mengupas apel kemudian berceritalah aku.

Entah siapa yang menanam bunga itu dan bunga itu begitu subur dan tinggi. Melampaui tingginya rumah bahkan gedung yang berlantai 69 pun di laluinya. Bunga itu namanya saja tidak di ketahui oleh orang-orang setempat.

“Cerita seperti apa itu…!! Aku bukan anak kecil yang suka cerita dongeng dan aku belum mengantuk’. Katanya dan sepertinya ia mulai kesal. “Makanya dengar dulu, sayang. Ini bukan dongeng”. Gerutuku memintanya agar ia terus mendengarkanku dan sedikit kecupan bersandar di pipinya. Kemudian aku melanjutkan lagi,

Menurut cerita Pak Jambo dan Pak Jambo adalah RT di situ. Yang umurnya hampir sama dengan bunga itu kira-kira 55 tahunanlah kalau tidak salah. Dulu ada seekor burung raksasa dari langit. Burung itu di kutuk oleh Dewa yang hanya memakan biji bunga yang terlarang dari surga. Dan bijinya harus di buang ke bumi. Maka dengan terpaksa burung raksasa pun turun dari langit dan terbang mengelilingi dunia. Orang-orang menyaksikan burung raksasa itu terbang kesana kemari. Kadang meninggi kadang turun kebawah. Dari anak-anak kecil hingga orang tua menyaksikan burung raksasa itu. Orang mengira bahwa itu adalah Malaikat yang turun kebumi untuk mencari sesuatu yang Tuhan perintahkan. Setelah mengamatinya agak lama orang-orang baru menyadarinya kalau itu bukan Malaikat yang turun dari langit. Melainkan burung raksasa yang tengah melayang di atas kepala mereka.

Suaranya bagai memecahkan semesta seolah tidak terima kutukan dari Dewa. Hari itu langit tampak cerah. Tepat di langit daerahnya Pak Jambo, burung raksasa itu berhenti, merentankan sayapnya yang besar itu dan menutupi seluruh kota. Lama burung raksasa itu terdiam kemudian menumpahkan biji bunga yang ada di mulutnya dan jatuh tepat kalau sekarang di belakang rumah mertuanya Pak Jambo. Dan seminggu kemudian lahirlah Pak Jambo.

Ketika biji bunga itu mencapai tanah, tiba-tiba awan menghitam dan menutupi burung rakasasa itu dan burung raksasa itu kemudian menghilang entah kemana. Seseorang bilang burung raksasa itu di panggil Dewa, seseorang bilang lagi burung raksasa itu di sembunyikan oleh awan. Berbeda dengan ayahnya Pak Jambo, katanya burung raksasa itu kembali keibu kota. “Ada-ada saja ayahnya Pak Jambo ini, jelas-jelas burung raksasa itu dari langit masa di bilang dari ibu kota”. Begitu seseorang menimpalinya. Dan kemudian hujan turun dengan derasnya, orang-orang membubarkan diri masing-masing. Biji bunga tadi orang-orang tidak menghiraukan lagi, sibuk dengan apa yang mereka lakukan. Hujan berkepanjangan tiada henti, orang-orang tak bisa keluar rumah. Bila keluar rumah akan di kena penyakit. Hujan telah seminggu belum juga berhenti dan Pak Jambo pun lahir. Tapi anehnya sungai yang ada di belakang rumahnya Pak Jambo tidak meluap sama sekali dan airnya pun tidak berubah warnanya tetap jernih.

Sebulan telah berlalu dan hujan baru berhenti dari sewaktu biji bunga itu jatuh kebumi. Orang-orang mulai di hebohkan dengan bunga yang aneh yang tumbuh di belakang rumahnya Wa Jene yang kini istrinya Pak Jambo. Bunga yang tak ada dahan dan batangnya seperti buto ijo, dan daunya yang kumal tidak menandahkan kebagusannya sama sekali. Bunganya mengeluarkan aroma bangkai seperti bangkai binatang yang sebulan belum di tanam. 

“Ini harus di tebang”

“Betul, karena bunga ini nantinya akan jadi pembawa sial”

“Apalagi pas biji bunga ini menyentuh tanah langsung hujan, sebulan lagi hujannya”

Mendengar ada keributan di belakang rumahnya, ayahnyaa Wa Jene yaitu Pak Kilo keluar sambil menggendong Wa Jene yang baru berumur seminggu. 

“Ada apa ini ribut-ribut” Katanya sambil membetulkan bayinya di gendongannya.

“Ini loh pak biji yang di muntahkan burung raksasa itu”. Seseorang menimpali pertanyaannya sambil menunjuk bunga itu.

“Biarkan saja , siapa tau bunga ini jadi pelindung rumahku”. Bantah Pak Kilo dan melanjutkan lagi “Yang penting bunga ini tidak mengganggu kalian biar aku yang mengurusnya, jadi kalian pulang saja”.

Mendengar itu semua orang yang berada di situ pulang kecuali Pak Kilo sendiri yang tetap mengamati bunga itu dan bergumam dalam hati: biar begini tetap makhluk hidup.

Kini bunga itu telah berumur 20 tahun, Wa Jena dan Pak Jambo pun sedemikian umurnya hanya selang beberapa minggu saja. Kalau di perhatikan, bunga itu kakak dari Pak Jambo dan Pak Jambo juga kakak dari Wa jene. Bunga itu awalnya tidak menyenangkan semua orang terkecuali Pak Kilo, tapi batangnya yang besar dan mengagumkan membuat orang-orang terpana bila berada di bawahnya. Daunnya yang kumal dulu kini menjadi hijsu segar hampir menutupi seluruh batangnya, “Bunga ini akan jadi pelindung seluruh manusia di seluruh dunia”. Kata perempuan itu ketika sedang beristirahat sepulang kuliah. Berkat bunga itulah Pak Jambo tiba-tiba mencintai Wa Jene. Karena sering melihat Wa Jene merawat bunga itu akhirnya Pak Jambo jatuh cinta hingga akhirnya mereka menikah. Sayangnya pernikahan mereka tidak di hadiri ayahnya Wa Jene,  lantaran penyakit yang menyerangnya hingga harus di panggil yang maha kuasa beberapa tahun yang lalu.

Tahun terus berganti hingga bunga itu berusia 55 tahun, Pak Jambo dan Wa Jene pun demikian. Pak Jambo kini telah menjabat RT dan  memiliki anak 8 orang, 5 perempuan dan 3 laki-laki dari pernikahannya dengan wa jene.

“Ini cerita tentang bunga dan Pak Jambo atau apaan sih, sayaang..,?”. Gerutunya sambil membenamkan wajahnya di bantal. “Sabar dong, ini belum berakhir, kamu kan udah janji untuk mendengar ceritaku”. Rayuku seketika kuraih bantal dan sedikit cubitan manja di pipinya.

Bunga yang besar dan tinggi kini berubah. Sebagai bunga kutukan dari Dewa, bunga yang hanya tunduk terhadap bintang dilangit. Setiap orang akan segan pada bunga itu, Hewan dan tanaman hormat padanya meskipun sama-sama tumbuh dari tanah tapi bunga itu tetap dari langit dan itu yang di takuti tanaman-tanaman lain. Apalagi bila bunga itu tidak di berikan air setiap pagi atau sore. Bunga itu akan marah. Gemerisik daunnya akan berubah seperti gemuruh badai menghancurkan bumi. Akhirnya orang-orang yang berada di kota itu termasuk Wa Jene dan Pak Jambo mulai resah dengan bunga itu. Daunnya tak segan-segan sengaja di gugurkan dan berserahkan di mana-mana. Mengotori sudut-sudut kota bahkan pasar-pasar, mall, taman, dan semuanya di tutupi daun-daun yang sengaja di gugurkan itu. Bukan lagi bunga sebagai pelindung dari panasnya sinar matahari, tetapi bunga pembawa sampah apa lagi kalau sedang marah.

Bunga itu tidak memandang siapa saja, para tukang becak akan turun dari becaknya bila lewat di bunga itu dan mendorong becaknya. Tukang ojek, sopir angkot dan sopir bus pun demikian halnya dengan tukang becak, mendorongnya. Bunga itu hanya takut terhadap bintang di langit, bahkan pernah suatu ketika pesawat jatuh bersama penumpang-penumpangnya hanya karena melintas di atasnya. Mungkin pandangan bunga itu terhalangi ketika bunga itu lagi berinteraksi bersama bintang. Dari kejadian itu pesawat tak lagi berani melintas di atasnya.

Orang-orang mulai mendatangi rumah Pak Jambo. Menanyakan tentang bunga itu yang kelewatan sekali kelakuannya. Biar juga kutukan dari Dewa tapi setidaknya jangan melampiaskan amarah di manusia. Kami menerima ketika pertama kali burung raksasa itu memuntahkan biji bunga dari mulutnya. Hanya saja Almarhum Pak Kilo melarang kalau tidak bunga itu sudah di tebang dan jadi kayu bakar dan Wa Jene juga merawat. Begitulah orang-orang mulai menyesali kejadian-kejadian awal bungu itu tumbuh. Orang-orang ingin menebang batang bunga itu tapi Pak Jambo melarangnya. 

“Jangan… jangan…!!! Bahaya kalau kita menebangnya, bisa-bisa Dewa akan mengutuk kota ini dan kita semua akan mengalami  kekeringan dan kelaparan dan biarkan saja bunga itu nanti akan gugur dengan sendirinya”

“Jadi bagaimana bunga itu bisa gugur sendiri…? Tanya seseorang. Tetapi Pak Jambo tidak memberitahukan dan memang ia tidak tahu sambil memilin-milin jenggotnya yang telah memutih.

“Sayang, kamu mau tau bagaimana bunga itu gugur ? Dengan suaranya yang manja dan sedikit serak basah sambil menatapku sendu ia menjawabku. “Iya sayang, teruskanlah ceritamu itu, aku mulai dijamah oleh rasa penasaranku akan ceritamu.

Suatu hari Wa Sempa anaknya Pak Jambo perempuan yang paling bungsu. Ia baru berumur 15 tahun dan duduk di bangku kelas 2 SMA. Ia merupakan anak satu-satunya paling cantik di antara ke lima anak perempuannya. Bahkan teman sekolahnya dan gurunya pun bilang begitu. Kakak kelasnya selalu ingin jadi pacarnya hanya karena kulitnya yang tidak begitu putih tapi bersih dan padat kalau roknya tersingkap bila angin sedikit kencang nakal kepadanya terlihatlah pahanya yang seksi. Tetangganya pun rela beli rokok di warungnya Pak Jambo demi melihat bungsunya yang cantik walaupun warung di depan rumahnya sedikit murah. Biarpun begitu Pak Jambo tidak menghiraukan yang penting dagangannya laku walaupun pembeli cuman satu orang itu saja. 

Jadi, ketika suatu sore dan malam telah mempersiapkan dirinya untuk di sambut muda-mudi. Wa Sempa menuju kamar mandi di belakang rumanya, kalau dinding belakang kamar mandi di bongkar maka kelihatanlah batang bunga itu. Karena nanti malam ada sebuah pameran di pinggir kota yang di adakan oleh wali kota tiap malam dan ia akan di jemput oleh kakak kelasnya yang sudah janjian tadi siang. Setelah ia sampai di dalam kamar mandi sambil sedikit bernyanyi lagu-lagu romantis wanita yang sedang jatuh cinta. Ia mulai melepaskan satu persatu kancing kemejanya dengan di iringi nada-nada khayalan akan kakak kelasnya kalau seandainya saja kakak kelasnya yang membuka kancing kemejanya itu. Setelah menanggalkan seluruh pakaiannya ia kemudian memakai sarung begitu kata ibunya kalau perempuan dewasa kalau mandi harus pakai sarung nanti ada yang mengintip. Ia pun menyiramkan air di tubuhnya yang seksi itu, tetapi tiba-tiba atap di kamar mandi terangkat dan terlempar entah kemana. Ternyata sore itu bunga itu sedang marah dan mengamuk sejadi-jadinya karena waktu yang hampir gelap ini bunga itu belum di berikan air. Piket yang akan memberinya air lupa kalau hari ini gilirannya dan entah kemana piket itu. 

Akibat amukan itu, hingga bunga itu pun memerintahkan angin untuk menggeledah rumah-rumah penghuni kota. Atap-atap rumah mulai berterbangan, ada yang kegunung, ada yang kelaut bahkan ada yang kelangit. orang-orang panik dan meninngalkan rumah-rumah mereka, yang di dalam mobi, buss dan di atas motor pun turun dan lari entah kemana. Sore itu kota sepi di jalanan pun sepi, tapi tidak dengan Wa Sempa. Ia begitu santainya membaluti tubuhnya dengan busa sabun cair yang merek biore waktu di belinya di indomaret tiga hari yang lalu. Dari tangannya, badannya, kakinya hingga pahanya. Tepat sebelum ia menyabuni selangkangannya, bunga itu menunduk kebawah karena saat itu awan lagi menutup langit sehingga bintang tidak melihat bunga itu yang sedang mengamuk. Dan akhirnya bunga itu terdiam. Sedikit demi sedikit, mulai dari kepala sari, benang sari, kepala putik, tangkai putik, kelopak hingga mahkota mulai berjatuhan satu persatu. Orang-orang dari kejauhan di buatnya terheran-heran. Ada apa dengan bunga itu ? Apa yang membuat bunga itu yang begitu menyeramkan kalau lagi marah tiba-tiba berguguran ? Tinggal batangnya yang masih berdiri dan menjulang ke atas.

Demikian halnya dengan Pak Jambo yang sedari tadi ikut lari juga. Ia menyaksikan bunga dari kejauhan, tapi setelah keadaan aman dan bunga itu tampak amukannya telah meredah. Pak Jambo perlahan-lahan dengan gugupnya mendekati bunga itu. Setelah sampai di batang bunga itu, ia mencoba memanjat. Dengan umurnya yang 55 tahun ia masih kuat memeluk batang bunga itu dan terus merangkak naik ke atas. Orang-orang kagum melihat Pak Jambo dengan beraninya memanjat batang bunga itu. Baru melewati rumahnya beberapa meter, samar-samar ia melihat kebawah bagian kamar mandi rumahnya dan bungsunya ternyata lagi mandi walaupun sore telah menelan malam. Selangkangan bungsunya pun terlihat sangat jelas. Ketika ia mengalihkan pandangannya di samping kamar mandi yang bungsunya mandi. Ia melihat laki-laki tua sedang mengintip bungsunya mandi dan laki-laki tua itu adalah piket yang memberikan bunga air.

“Sayang, aku ketoilet dulu yah…?”

“Tapi ceritanya sedikit lagi mau habis nih”

“Nanti saja dulu, aku sudah mengantuk, sayang..? Ia bangkit dari duduknya dan sambil memincingkan sebelah matanya, tanda aku harus mengiyakan.

Kota Ambon belum juga sepi meski waktu telah menunjukkan pukul 22 lewat 30 menit. Dan muda-mudi di JMP belum juga beranjak dari cerita-cerita dustanya. Suasana begitu mendukung, mendung pun menghilang mungkin kebelahan dunia lain. Entahlah.

“sayang…?” Panggilnya setelah keluar dari toilet.

“Iya ada apa…!!” Jawabku kaget.

“Besok ceritain aku tentang selangkangan wanita dan tisu, yah..?”

“Tidurlah, sepertinya kamu sudah ngigau duluan, nanti aku ceritakan tentang bagaimana awal Pak Jambo dan Wa Jene mulai membakar api cinta di hatinya masing-masing. Kamu belum dengar, kan…?” Dan pacarku pun tertidur dengan pulasnya malam ini. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ia Mengirim Malam Yang Tak Nyenyak Di Dadamu

Sedikit Tentang Buku Manusia Indonesia, Karya Mocthar Lubis

Dari Beng-beng Sampai Peterpan