Di Hadapan Waktu




 Di hadapan waktu:

Di hadapan waktu yang merangkap maju aku mendapati diriku berjalan mundur melihat dirimu melambai padaku disana, aku berjalan menghampirimu lebih dekat, kamu menarikku mendekapku erat, sangat erat. Saat itu aku merasa di sanalah aku seharusnya berada. Bukan di hadapan waktu yang merangkap maju berlalu, bagai sesuatu yang kejam membuat aku dan kamu menjadi lampau. Kadang aku membenci waktu, membenci sesuatu yang bergerak selain kita.


Tapi aku tak bisah berbuat sesuatu, lebih tepatnya kita. Kita tak berdaya di hadapan waktu, kita sering melihat waktu mendatangkan sesuatu, hanya melihatnya. Hanya melihatnya begitu saja, ia berlalu tampa pernah kita sadari bahwa sebenarnya ia merenggut banyak hal dari kita,. Kita hanya menjadi sisa-sisa semacam kenangan. Lalu aku dan kamu saling mendekap sebelum mengahiri segalanya, aku meringku tertinggal waktu dan sebaliknya kamu di tuntun oleh waktu berjalan meninggalkanku sebelum lenyap di ujung lorong sana kamu melambai padaku mungkin untuk terakhir kalinya.


Lihat aku berdiri perlahan sambil mengusap tetes air di bawah kedua bola mataku, aku menatap sayup-sayup sisa-sisa waktu yang tertinggal di hadapanku, ia seperti angin yang menabrakku halus lalu merasakan gigil di tulangku. Mungkin ia menungguku setelah meninggalkanku meringku seorang diri. Ah. Mungkin itu hanya anggapanku saja, bagaimana bisah aku mengejar sesuatu dengan hanya mengendarai sisa-sisa waktu yang terlampau jauh meninggalkanku. Walaupun barangkali aku masih punya setetes ambisi.

aku sudah kehilangan banyak waktu jika ingin bermimpi mengejarmu. Meski begini aku juga mempunyai ragu, ragu bahwa kamu tidak akan mungkin membuang-buang waktu yang banyak untuk sebuah penantian. Omong-kosong. Begitulah nantinya manusia akan menyebutnya.


Aku hanya bisah membayangkan, melihat dirimu sibuk melakukan banyak hal penting sebab katanya waktu membatasimu, dengan waktu kamu meraih banyak hal, sementara aku dan kamu di batasi waktu. Di hadapan waktu kamu sibut membuat ini dan itu, di hadapan waktu kamu sibut mempersiapkan ini dan itu, waktu membuatmu menjadi manusia paling sibuk di kepalaku. Di tengah kemacetan jalan, di pasar-pasar orang-orang tumpah ruah, di tengah kota yang tak mengenal tidur. Di ujung blok berdiri seseorang menatap waktu yang melingkar di pergelangan tangannya lalu berjalan terburu-buru lalu menghilang di balik toko-toko. Kemudian akan muncul kembali dengan wajah lelah ketika lagit mulai menghitam. Lalu berpapasan dengan orang yang tergesa-gesa katanya ia pekerja malam lalu orang itu menghilang di balik toko-toko. Serupa ia tadi pagi.


Lihat aku, kini telah berada di luar waktu yang terdiri dari aku, kamu, ia, dan kita.

Apakah kamu tahu bagaiman aku bisah berada di luar waktu ketika kamu meninggalkanku di hadapan sisa-sisa waktu yang kamu tinggalkan ketika aku meringku dulu? Jujur aku tidak bisah sepertimu! Meraih banyak hal dengan sisa-sisah waktu yang kamu tinggalkan itu. aku tak bisah berbuat banyak kalau saja kamu tahu? Aku justru terhempas keluar dari sisa-sisa waktu yang kamu tinggal itu. kini di hadapan waktu aku tak lagi terdiri dari waktu jika mengingat banyak hal ketika dulu.


Apakah kamu tahu, waktulah yang membuat kita merasakan banyak hal. begitu pula sebaliknya, waktulah yang membuat kita lupa akan banyak hal. Sekarang waktu hanya symbol keindahan pada pergelangan tangan kita. Kita berjuang mati-matian untuk nantinya membeli waktu yang barangkali akan kita lekatkan menjadi satu bagian pada tubuh kita. Betapa indahnya waktu di pergelangan tanganku yang kamu hadiakan untukku ketika dulu, tapi aku lupa itu kapan? Maaf. Barangkali aku bisah mengira-ngira berapa harga waktu yang kamu hadiakan untukku ketika itu. sayangnya, di hadapan waktu, aku kehilangan waktu denganmu.


Waktu melumat sesuatu yang lekat pada diri kita pun aku mungkin seperti kebanyakan orang di luar sana akan butuh waktu untuk semua ini. Awan hitam yang merajut menemani hari-hariku, tak ada tatapan yang tenang hanya tatapan gagu. Bahkan ketika aku berada di antara kerumunan panggung komedi pun itu hanyalah detik-detik yang kulalui dengan senyum yang palsu, percayalah sekolompok pasukan awan hitam masih akan tetap menggantung bak musim penghujan. Mungkin ingatan ialah asal dari semua kekacauan tapi tak mungkin menyalakannya, sebab ingatan adalah satu kesatuan yang kau bawah-bawah entah sampai kapan. Aku mungkin akan tergerak untuk mempersiapakan hari esok atas dorongan-dorongan masalalu dan pada akhirnya aku bisah terlepas dari badai panjang itu, Mungkin. Tetapi kadang peristiwa masalalu menyimpan artefaknya masing-masing selalu punya peninggalan-peninggalan. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ia Mengirim Malam Yang Tak Nyenyak Di Dadamu

Sedikit Tentang Buku Manusia Indonesia, Karya Mocthar Lubis

Dari Beng-beng Sampai Peterpan